Selasa, 28 Juni 2011

Salam Untuk Yang Tersayang

Kangen menyusup di relung hati
Bingungku, pada siapa kutitipkan rasa ini untuk yang tersayang
Pada bulan, ia sedang berpagut dengan bintang
Pada angin, ia sedang membelai mesra ilalang
Pada hujan, ia telah pasrah, mengalah pada kemarau yang dicintainya namun takkan bisa bersama
Ia senasib denganku…
Mimpi menawariku pertemuan indah malam ini
Aku mengiyakan
Lalu kubermimpi, duhai, indah nian
Paginya tersenyum, tak sabar mengetik huruf-huruf yang riuh berbahagia
Ingin menanyakan, kesan apakah yang ia dapat tadi malam
Lalu ia menjawab, aku sama sekali tak bermimpi
Yang tersayang, tiada diriku dalam hatinya…..

Jumat, 17 Juni 2011

Aseeemm…. Beli Buku Dikira Teroris….

Emang emak-emak kadang parnonya keterlaluan. 

Gini ceritanya, berhubung siang ini gw ada janji wat ambil pesenan buku sama Bang Jay di Senen, maka berangkatlah gw kesana… Hmm, transaksi beres, tapi siang ini koq panas banget yah….

Gw putusin deh, balik pake busway… Mana kebetulan banget, gw beli tiket pas buswaynya masuk selter. Ya udah, langsung deh gw naik.

Berhubung busway nya agag penuh, gue bediri ajah depan pintu. Si mas penjaga pintunya bilang suruh letakin bawaan gw deket pintu ajah. Sebagai warga Negara serta pengguna busway yang teladan, caelah, maka gw turutin ajah deh….

Saat di selter berikutnya, masuklah dua emak-emak yang  ~gw kira~ normal-normal ajah. 
Begitu busway jalan, dia langsung nyeletuk sama mas penjaga pintu. “Itu apaan mas..??”
Mas penjaga pintu itu senyum, sambil lihat gw, “Punya mas itu…”
Gw pun menyahut, “Buku, bu… Beli di Senen barusan…”
Kirain semua dah game over, eh, ibu ini masih ajah bahas…
“Ya enggak gitu, takutnya itu bom buku… Mau lari kemana kita, dalem busway gini…?” dia ngomong dengan suara keras ~yang gw yakin dilatih waktu ngerumpi di karokean~ sampe semua kepala di dalem busway noleh, ngeliatin gw sebagai tersangka….

Aseeeemm, mentang-mentang bukunya dibungkus Koran, disangka bom…

Emak yang satunya nimpalin, “Kaya yang di tipi yah, wah, gawat tuh…” ~memperkeruh suasana~
Tambah status dah gw jadi terdakwa… 
Kalo ajah gag di selter depan gw turun, dah gw buka terus gw colokin ke mata emak-emak itu, nih buku…
Ngomong dah kaya genteng bocor….

Tau gag, begitu gw turun apa yang dibahas emak-emak gag penting itu…?? 
Mereka lagi memperdebatkan “Kalo Gayus jadi komandan TNI AL, korupsi apa yah kira-kira..??” Yang satu menyeltuk… “Jual pulau, lah….”
Gag penting banget kan….

Dengan tulisan ini saya mengklarifikasi bahwa nama saya TUSINO, dan saya bukan teroris… (gaya shahrukh khan, di film My Name Is Khan)

Kangen

Menelikung hati sendiri
Sedang sesal mengikuti, lalu merutuki

 Ah, mengapa kau ini
Cecap saja ludah yang kau buang

Buang semua ego dalam hatimu…
Bilang padanya, pada duniamu…
Aku, kangeen dirimu….

Rabu, 15 Juni 2011

Tak Ada Cinta

Kenapa kau tak mau mengerti
Kataku pada diri ini
Sedari awal memang tak ada cinta
Tak ada ruang
Pun juga peluang

Mendamba dengan mengagungkannya
Ah, sadarlah
Dirimu hanyalah seorang yang papa
Tak pantas kau memuja ia yang bergelimang cahaya

Sedari awal memang tak ada cinta
Merajuklah, tak'kan ada beda

Sedari awal memang tak ada cinta
Matilah, embun pun tak'kan berduka

(Sin, 16/6/2011)

Selasa, 14 Juni 2011

Lagi

Dan bila hatimu t'lah bening
Sebening kaca disini
Dan bila hatimu t'lah dingin
Sedingin embun pagi 

Kan kucoba lagi
Ungkapkan rasa hati
Hingga kisahku yang sendu
Diterima tulus dihatimu

Nyanyian Anak-Anak Surga

Mendendang lenguh guratan hidup
Meniti tiap titian besi panas yang melepuhkan pijak
Pias peluh mengaliri di setiap pori tak berebentuk ini
Lagi…
Kian menjerit tawa dalam kepedihan yang memikat
Kita ini bukan malaikat
Terbelenggu kian oleh kenistaan pekat
Terlaknat…?
Dalam mengganyang,
Dalam terlentang,
Dalam terlihat gemintang
Kita ini…
Dalam titian panjang
Senandung kata yang terbit kala
Senang, sedih, haru biru, duka
Kita rasa tapi berpura tak rasa
Apa salah, memunafikkan semua…?
 Petikkan Nada ini petikkan hidup ini
Senandung ini mengalir layaknya air
Yang mengenal liku, lekuk serta bentuk kali
Kita kenal, kita hafal
Ini terjal, tapi kita tak keberatan
Ini hidup kita, ini kehidupan kita
Tawa hanya sebuah tameng muka
Benarkah…?
Mungkin saja
Bilamana gula adalah penutup rasa tawar
Kita hanya ikan
Yang berkecipak kian kemari diselokan hitam
Menari indah hanya demi remah yang terlempar
Remah yang tetap tercemar
Apa kita keberatan…?
Tidak…
“Kakak…”kata Khalila sambil menatapku
“Bukankah kakak pernah berkata,‘Bernyanyilah layaknya nyanyian anak-anak surga,  Buatlah agar nyanyianmu tidak mengganggu  Tapi nyanyianmu membuatmu dihargai layaknya seorang manusia.’
Lalu mengapa kakak mengeluh…?”
Aku senyum meracau menyepahkan kata
“Yah,… Layaknya seorang manusia…”

Perjalanan

Perjalanan,
yang hanya milik kau saja
sedang aku, bukanlah suatu bagian diantaranya.
Hanya milikmu, beserta seseorang
di ujung jalan sana...
Nama dalam ceracau ditiap tidurmu
Nama yang selalu didendangkan disetiap nadamu
Tapi ku masih disini, menemanimu
sampai ujung perjalanan
dimana kau sudah melihat dengan jelas dirinya
Serta bahagia yang terpatri tegas
di mimik wajahmu...
Lalu, aku kan menghilang
Mungkin tersesat, lalu mati ditanah tak bertuan
Karena semua cintaku
Tlah tersemai,
namun kekeringan sebelum tumbuh...

Senin, 13 Juni 2011

Padanya

Padanya kusandarkan semua mimpi, angan dan harapan...
Padanya kulabuhkan rasa, nestapa dan juga cinta....
Dan padanya kuikatkan niat, akan hari depan bahagia....

(sin, 13/6/11)

Sabtu, 11 Juni 2011

The Kite Runner

Aku tahu anak itu masih belum bisa menerima kehadiranku di rumah ini. Tatapannya yang masih tak berubah, seperti tatapan waktu Khaylila memakan roti pemberianku dan juga masih seperti saat dia menatapku di musholla waktu itu.
            Tapi, seperti yang kutahu. Waktu adalah kunci luluhnya perasaan seseorang
Mungkin itulah yang bisa menjadi peganganku saat ini. Walaupun saat ini dia tak bisa menerimaku, tapi kuyakin, waktu kan mengisahkan lakonnya sendiri. Ajang pembuktian dirinya akan datang, mengahampiri, menuntunku mengenyahkan labirin sikap antara kami.
Seperti yang pernah kukatakan, takdir adalah sebuah tanda tanya.
Tanda tanya itu kini hadir dalam bingkaian tulisan hidupku. Muncul diantara celah huruf yang tak lagi menghendaki dan menerima sebuah titik sebagai pembatasnya.
Kesempatan itu datang, dan waktu membuktikan kedigdayaannya.
Anak itu sedang asyik-asyiknya berlarian antara hamparan besi-besi hitam yang mengalur panjang. Musim layangan sedang marak. Banyak kotak-kotak kertas melayang diudara, tengah berjuang melawan angin, memuaskan sang empunya. Gesekan-gesekan benang yang diiringi cengiran serta teriakan mewarnai daerah berbatu lintasan kereta itu. Mereka tertawa, kadang saling mengejek dan kembali bercanda. Tapi itu hanya beberapa kegiatan menunggu sesuatu.
Benar… Layangan putus.
Itulah saat yang paling ditunggu. Anak-anak mengambil ancang-ancang untuk berlari, saling mendahului. Mereka berlari untuk mengambil layangan itu. Disini nilai tidaklah berarti, kawan. Kebanggaan sebagai pengumpul layangan terbanyak adalah segalanya. Benar-benar euforia The Kite Runner -nya Khalled Khosaini. Tak cuma di Afganistan, disini pun tak kalah maraknya, tapi yah, hanya sebatas permainan anak pinggiran.
Alif terkenal sebagai pengumpul layangan terbaik untuk kelasnya. Kelas untuk usia Alif bisa dibilang 125cc, belum mencapai 250cc apalagi menyaingi Valentino Rossi di kelas raja. Tapi, yang sama sekali tak kumengerti, dia tidak pernah membawa layangan itu kerumah. Akupun sempat bingung dengan hal ini, tapi setelah menanyakan kesemua anak yang bermain layangan, mereka berkata bahwa Alif menjual kembali layangannya.
Aku tetap tak akan meralat perkataanku teman.
Nilai memang tidak berlaku disini, melainkan kebanggaan. Tapi saat seseorang menjual kebanggaan itu hanya untuk membelikan adiknya sepotong es lilin, maka itu memaksaku kembali mencecap kataku.
Bukan uang dan kebanggaan itu yang bernilai, tapi apa yang ia lakukan dengan menguangkan kebanggaan, itulah yang tak ternilai.
Kini aku tahu, darimana asal bungkus-bungkus es lilin yang kemarin-kemarin ada di kaki tempat duduk bambu depan rumah. Kalupun nanti aku berkesempatan bertemu dengan Khaled Khosaini maka dengan riang akan kukatakan; Alif, dialah The Kite Runner-ku yang terhebat diseluruh dunia.
Yah, Alif sore itu juga kembali berlari-lari sepanjang rel. Matanya tetap terpaku pada selembar layangan yang meliuk santai, menari ditiup angin. Akupun saat itu hanya kebetulan melihat anak itu dari pinggiran kali, jalan yang kulalui kalau pulang dan pergi kerja.
Dia sama sekali tidak melihatku. Dengan muka masih menatap langit, ia terus berlari. Gapaian tangannya jelas belum mampu menggapai juluran tali layang yang menjuntai, tapi itu tak jadi soal. Para pesaingnya jauh tertinggal dibelakang. Sudah kubilang, untuk ukuran 125cc dia bukanlah sesumbar tentang lincah, gesit dan irit.
Hanya satu kesalahannya waktu itu. Ia sama sekali tak menatap sekeliling. Tidak melihatku, tidak melihat para pesaingnya dan terlebih sama sekali tidak melihat saat deruman kereta melaju mengancam nyawanya. Deru angin memang menyapu geraman ular besi itu, terlebih itu kereta ekspres AC, selain suaranya tidak begitu nyaring, lajunya yang kencang juga semakin mendukungnya sebagai pemangsa terhebat.
Para pesaing berteriak, saat itu kulihat sekilas tatapan ngeri anak itu menatap kereta yang hanya beberapa meter saja didepannya.

Byuurrrr

Aku langsung melesak menghujam air hitam dibawah jembatan rel yang dilalui kereta tadi. Untunglah, sesuatu sosok masih melekat dipelukkanku. Sosok yang beberapa saat lalu hanya berdiam mematung didekat jembatan itu kini aman didekapku. Aku berhasil menyapunya, mencuri dari terkaman karnivora itu disaat terakhir.
Air menggelegak dari mulutku. Rasa yang aneh khas comberan memenuhi mulutku. Aku menggapai-gapai air, menyibaknya untuk menemukan cahaya. Akhirnya cahaya itu kutemukan, sekuat tenaga aku menyibak air diatas tubuhku. Aku mencabik air tanpa ampun. Mungkin itu juga yang membuatku berhasil kembali kedaratan. Air telah mendorongku untuk menjauhinya, aku sama sekali tak lembut untuk menjadi kawan dalam peluknya..
Segenap nafasku berusaha melepehkan kembali air limbah cemar yang sempat masuk ke rongga dadaku. Sambil terbatuk aku mengeluarkan air hitam dari mulut. Menjijikan.
Aku tak perlu mengkhawatirkan anak itu. Dia kini sudah duduk tenang diatas hamparan rumput, lebih sehat dari aku. Mungkin aura permusuhan denganku banyak membantunya untuk muntah. Seperti halnya rasa jijik saat sesuatu yang paling menjengkelkan bagimu baru saja memelukmu, terlebih menyelamatkanmu.
“Kenapa kamu menolongku,” katanya menatapku serius.
Nadanya bukanlah bertanya, melainkan hanya menegaskan bahwa sesuatu yang sudah terjadi selama ini tak akan semudah itu berubah.
Sudahlah, aku pun tahu hal itu. Tapi setidaknya ia sudah mau bicara, kemajuan yang bisa diibaratkan rintihan dari seseorang yang sudah lama terbaring koma.
Aku kembali menghelakan nafas panjang sembari memungut tas yang tadi sempat kulemparkan sebelum menyambar anak itu.. ”Hhhh...aku cuma ingin tolong kamu saja. Lagipula Khaylila sudah menunggu es darimu dirumah.” Setelah berkata, aku melenggang pulang, masih kuyup dan bau aneka campuran produk pabrik, alam dan manusia yang melekat erat disekujur tubuh. Parfum istimewa yang tak akan kau jumpai ditoko manapun juga. Di pasar malam pun takkan ada.
Aku tahu, peristiwa itu sedikit banyak mempengaruhi semuanya. Kini tak lagi ada tatapan pengusiran dari matanya. Cuma, mungkin ucapnya masih belum bisa berangkulan menyambutku. Tapi tak apalah. Setidaknya ia tak akan lagi melarang Khaylila memakan roti pemberianku.

Aku masih ingat, saat kemarin kami pulang dengan kuyup dan berbau yang luar bisa harum. Khaylila menyambut kami, sedikit heran akan kondisi yang memprihatinkan itu. Tapi dia hanya memandang tanpa bertanya sedikitpun. Malah sesuatu yang luar biasa terjadi sore itu
“Khaylila, sekarang kamu boleh makan roti yang kemarin dikasih bang Umam…”
Aku menatap penghasil suara itu. Anak berbaju basah disampingku itu berkata, bukan, lebih tepatnya menggumam tentang sesuatu. Aku tak bisa percaya hal ini.
Bagai matahari yang terbit dari barat, mungkin kiamat telah datang hari ini. Atau ada hujan badai? Bagaimana mungkin, ibarat menara eifel hanya berdiri dengan satu kaki atau seperti nenek tua bertongkat yang menyanyi ala Rihanna. Bergaya dengan tongkatnya yang menggantikan payung lalu mulai bergoyang, ela..ela.. e.. e…
Haha… bercanda.
Tapi ini nyata.
Saat aku hanya bisa heran menyadari semua yang baru terjadi, Khaylila langsung melesat menyibakkan tirai dari jendela. Mengambil semua roti disana, baik yang masih utuh maupun yang tinggal separuh. Lalu, masih dengan semangat ia menghampiri kami, wajahnya tersenyum penuh kemenangan.
Tapi perlahan senyum itu memudar. Aku tahu alasannya. Roti itu telah dipenuhi bercak-bercak jamur kurang ajar. Terlalu lama memang. Lima hari sudah bukanlah waktu layak konsumsi lagi. Tangan yang menggenggam roti itu mengendur, siap mengiklaskan raibnya senyum kemenangan dari bibirnya tadi.
Alif kini menatapnya lemah. Matanya sudah lusuh akan airmata yang menggenang. “Maafin abang ya, Khaylila…” kata Alif, memeluk Khaylila, sambil mengusap-usap rambutnya.
Khyalila, hanya bisa mengangguk-angguk dalam pelukan Alif.

Aku berkata memecah pelukan itu.
“Hei, apa ada yang mau roti ?” Aku mengacungkan beberapa roti dari dalam tasku.
Pelukan itu kini terlepas. Khaylila langsung menubrukku, merebut roti yang beberapa saat lalu masih tergenggam erat ditangan. Dengan cepat ia membuka bungkusnya, lalu memakannya. Tetap saja, dengan rakusnya. Roti berjamur itu sekarang tergeletak begitu saja tanpa arti. Roti yang sangat berjasa bagiku kukira, tapi tak mungkin lah aku menyimpannya. Kalau sampai aku menyimpannya, aku hanyalah seorang kolektor bodoh, walaupun kuakui itu sebuah benda yang sangat berharga.
Kulihat Alif menyeka bulir-bulir air matanya. Berusaha menyembunyikannya dariku, kukira. Huh, bodoh... Apa perlu menangis hanya untuk sebuah roti bulukan berjamur. Dasar anak-anak bodoh.
======

Sebuah Amplop

Lembaran amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Dibuka bilah demi bilah, lembar demi lembar.
Tulisan diatasnya itu tak lantas memuluskan usahanya.
“Yth Bapak, Ibu dan Saudaraku sekalian. Kami yatim piatu yang mengharap belas kasihan Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian. Mohon bantuan seikhlasnya…”
Tulisan yang sama sekali tak ia mengerti. Itu hanya amplop yang diserahkan padanya dari seseorang.
Amplop itu masih jadi pengharapannya. Dibukanya bilah demi bilah, lembar demi lembar.
Kosong.
Kalaupun amplop tak ditekuk atau diremas saja itu sudah untung.
Suara kamipun tak semerdu penyanyi-penyanyi di radio itu. Duhai, indah nian mereka, dianugrahi pita suara terbaik, nasib terbaik dan….
Amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Tulisan diatasnya sama sekali tak meluluskan niatnya.
Ya Allah,
Bukan kami merajuk, kamipun tak menyalahkan mereka. Maafkan kami, sungguh. Aku bersungguh-sungguh, ya Allah…
Amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Ketika perlahan dengan tangan gemetar, satu-satunya amplop tebal yang ia terima.
Ia menelan ludah. Gemetar. Perlahan ia merogoh apa yang ada didalamnya. Sebuah kertas, tercorat-coret membentuk kata… tapi, ia tak tahu maknanya….
Yah, ia sama sekali tak tahu apa itu. Yang ia tahu selembar uang sepuluh ribuan yang ikut bersama dalam lipatan kertas itu. Itulah jawaban dari pengharapannya.
Siang ini aka nada sepotong es lilin untuknya.
Sesampainya dirumah, I sampaian kertas itu pada sang kakak. Kakak adalah pengurus rumah singgah ini, penulis kalimat diatas amplop kami.
Kakak membacakannya, dengan sedikit sendu…
“Dik, janganlah urung bermimpi. Langit cukup luas untuk menampung sejuta mimpimu… Siapapun dirimu…”
Ia, ia luruh dengan masih menggenggam sisa uang itu. Sembilan ribu lima ratus rupiah lekat dalam genggamnya.
Ia telah memutuskan, ia ingin bercita-cita… Ia ingin bermimpi, sampai langit tak mampu menampung semuanya… Ia telah berjanji…

KUBUS

Dia yang selalu mengajarkanku untuk memandang sesuatu dengan cara yang berbeda, seperti halnya sebuah kubus.
Aku menjadi porosnya, terkungkung dalam pengap dinding sisi kehidupan. Bagian atas harapan, bagian bawah kenyataan, bagian kanan kebaikan, bagian kiri keburukan, bagian depan harapan serta bagian belakang adalah kenangan.
“Mana yang akan kau pilih..?” tanyanya.
“Mungkin bagian kanan…”
Dia menghela nafas. “Pada dasarnya manusia itu suka dengan kebaikan, namun kadang kalah, tertutup keinginan untuk berbalik arah, kekiri…”
“Kalau begitu mungkin bagian atas. Aku suka bermimpi…”
Kini ia tersenyum… “Mimpi memang indah, tapi tahukah engkau bahwa mimpi dilakukan oleh pemalas…?”
Aku bingung, “Lalu…?”
“Tak pernahkah kau berfikir untuk melepaskan kaitan antara sisi-sisinya, membukanya dan menggelarnya. Dengan begitu kau bias menatapnya sekaligus dalam kehidupanmu…”