Hari masih saja kemarau. Siang menyengat sampai terasa ke sumsum tulang. Pohon-pohon meranggas demi mempertahankan hidup. Sedang burung-burung tak mampu lagi berkicau dan berdendang, sebab kerongkongan mereka pun terlalu kering karena terpanggang hari.
Seorang lelaki terduduk di bangku taman tengah kota itu sambil menunduk. Rangkaian guguran daun yang menghujaninya itu tak jua mampu menghiburnya. Ia telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan sialnya, karena kesalahannya itu ia kini telah pasrah dan kalah. Kalah pada nasib dan takluk pada takdir.
Percuma.
Maafnya tak akan pernah sampai dihati mantan kekasihnya itu. Tak akan pernah... Itu semustahil pohon-pohon disekitar sini kembali bertunas. Itu hal yang tak akan mungkin terjadi.
Ia telah gugur dalam medan perangnya. Luruh lalu terserak begitu saja seperti dedaunan ini. Menutupi jalan lalu hanya menjadi seonggok sampah.
Lelaki itu kembali mengusap wajahnya. Tergugu sesaat. Tak terasa air matanya merembes keluar, berhasil menembus pertahanan kelopak matanya.
Ia hanya bisa menangis.
*****
Sebulan yang lalu, itulah pangkal muasal kesalahannya. Ia salah memilih persimpangan jalan. Sebagaimana orang yang tergoda saat memilih sebuah jalan yang lurus dan halus tapi akhirnya tersesat diujungnya. Sedang jalan lain yang berkelok itu sama sekali tak diliriknya.
Yah, ternyata semuanya keliru. Perempuan yang ia pilih tidaklah tepat. Perempuan itu adalah separah-parahnya seorang manusia. Ia melenggang, berlalu begitu saja saat semua harta sang lelaki habis tak bersisa untuk berfoya.
Tentu, bagi sang lelaki itu harta bukanlah apa-apa. Habis ya sudah. Tapi yang lebih menohoknya adalah saat perempuan itu tak sudi membawa satu-satunya yang tersisa dari dirinya. Hati dan cintanya ikut dicampakkan begitu saja.
Kini ia semakin tinggal dalam keterpurukan.
Ya Tuhan, mengapa engkau tak tancapkan plang penunjuk jalan dipersimpangan itu sebagai penunjuk langkahku. Kenapa Ya Tuhan…?
Lelaki itu kembali tergugu.
*****
Jalan yang ia kira berkelok itu ternyata adalah pilihan yang terbaik. Tapi lelaki itu memanglah hanya seorang manusia, yang selalu saja, sadar saat semuanya telah terlambat.
Jalan itu adalah seorang wanita yang memiliki sanubari. Wanita berwajah malaikat serta berjiwa nabi. Tapi itu terlihat kini, setelah sang lelaki patah hati.
Sedang dulu…
Wanita itu hanya berupa gumpalan asap yang menutupi gunung. Tentu saat menatapnya, gununglah yang bisa menyita perhatian dengan kebesaran dan keangkuhannya. Dengan sejuta rimbun pohon dan padang rumput yang membentang hijau.
Yah, lelaki itu lupa bahwa asap itu adalah uapan embun yang selalu menyejukkan tiap langkahnya saat melintas diatas rumput pagi hari. Ia sama sekali lupa akan hal itu.
Sekarang saat semua pikir dan nalarnya kembali jalan, ia mencoba kembali ke persimpangan dan membenarkan arah langkahnya. Ia hendak kembali menyusuri persimpangan yang satunya.
Tapi, wanita itu sudah tak menerimanya lagi. Walaupun ia bersanubari, semua itu telah terkoyak akan cakar yang melukainya. Walau wajahnya adalah malaikat, namun serupa malaikat pencabut nyawa dan ia bukanlah nabi, karena ia hanya seorang wanita.
Lelaki itu menyadari bahwa wanita itu telah melakukan apa yang seharusnya.
Yah, benar.
Kemana sang lelaki ada saat wanita itu melenguh minta belas kasihan kerena mencintainya? Kemana saat wanita itu merintih-rintih dan memungut tapak kakinya?
Kemana?
Lelaki itu hanya acuh.
Hal yang dilakukan wanita itu adalah hal yang wajar. Ini hukuman untuk sang lelaki. Dan kini, sang lelaki hanya bisa kembali menangis.
Kemarin-kemarin, saat semua masih biasa saja, sang lelaki dan wanita itu masih sering duduk-duduk di bangku taman ini. Sesekali bercanda saat hari cerah berbinar dan akan membutuhkan waktu lama untuk berbincang disana. Atau sesekali mereka memaksakan diri hujan-hujanan berdua, merasakan langsung air yang mengucur deras dari langit lalu baru memutuskan pulang saat bibir telah membiru kedinginan.
Tapi, semua suasana itu begitu hangat.
Aneh.
Hal itu adalah hal kecil yang terjadi dalam hidup sang lelaki, namun terasa sebagai sesuatu yang sangat ia idamkan, seakan hal itu adalah sebuah hal langka yang hanya terjadi sekali dalam satu abad.
Tapi mungkin memang hal langka. Mungkin muskil untuk terjadi lagi, apalagi sekarang saat wanita itu sudah menutup dirinya.
Dia berkata; Jangan ganggu aku lagi!
Dan untuk pertama kalinya sang lelaki menengadahkan wajahnya. Bukan, bukan karena ia sebal menangis, tapi ia berusaha tegar dengan berusaha memasukkan kembali air mata itu kembali ke dalam kelenjarnya.
Tapi gagal. Air mata sialan itu tetap meleleh, lebih deras. Ia kini merasa sebagai satu-satunya lelaki tercengeng didunia.
******
Angin menyemilir menggoda panas yang kian menyengat.
Beberapa helai daun yang tersisa kembali gugur dan terbang terbawa angin tadi, melintas begitu saja diatas kepala sang lelaki. Diranting kini hanya tersisa selembar. Lembar terakhir itu hanya melambai-lambai lemah dipucuk pohon, mencoba berdamai dengan sang angin.
Tentang daun, lagi-lagi ia mengingat ucapan wanita itu, dulu…
“Kamu tahu, daun terakhir dari sebuah pohon merupakan daun yang luar biasa. Karena daun itulah yang susah payah bertahan hingga akhir. Menemani pohon itu hingga batas kemarau.”
Sang lelaki waktu itu hanya menanggapinya dengan senyum.
“Daun itu bisa mengabulkan semua harapan kita…” lanjut wanita itu sambil menatap ranting yang meranggas. “ Semua…”
Tiba-tiba pijar harapan muncul dari wajah yang melamun itu. Ada secercah harapan, mungkin itu harapan satu-satunya.
*****
Mungkin hari ini kemarau akan berakhir. Awan mulai memekat dilangit sana , sedang angin bertiup semilir dan beraroma basah.
Wanita itu melangkah perlahan. Wajahnya ia tundukkan pada bacaan yang sedang dipegangnya. Buku itu baru beberapa saat lalu dibelinya. Karena tak tahan hingga tiba dirumah, ia buru-buru merobek plastik pembungkusnya lalu mulai membaca sambil berjalan.
Tak lama kemudian sebuah ambulans melewatinya dengan kencang. Ia seketika menarik nafas karena kaget dan segera menutup bukunya. Terlalu berbahaya bila dibaca sambil jalan seperti ini.
Maka wanita itu memutuskan membacanya sambil duduk-duduk di taman. Entah mengapa, hari ini ia tak merasa harus cepat pulang walaupun hari akan hujan. Ia telah terbiasa hujan-hujanan di taman ini dulu, bersama seseorang yang kini tak lagi ingin diingatnya.
Sesaat sebelum ia sampai dibangku taman yang biasa ia duduki, ia melihat orang-orang berkerumun sambil membicarakan sesuatu. Kata mereka ada seseorang yang jatuh dari pohon. Entah untuk tujuan apa. Padahal buah kan tak ada dimusim kemarau begini.
“Dasar bodoh.” dengus wanita itu sambil berlalu menuju bangku. “Masih ada saja orang tolol seperti itu…”
Wanita itu kini kembali membuka bukunya. Angin masih semilir mengalir menggoda satu-satunya helai daun yang tersisa diatas pohon sana. Kadang helaian itu berayun kiri kanan antara ya dan enggan untuk jatuh. Tapi, akhirnya daun itu menyerah juga. Daun itu meliuk-liuk perlahan lalu mendarat tepat ditengah buku yang tengah dibaca si wanita, seakan pembatas buku saja.
Wanita itu mengalihkan bacaannya pada rangkaian huruf lain yang terangkai dengan indah dengan goresan tinta hitam dan membentuk kalimat diatas daun tersebut.
Dinda, bila nanti daun terakhir ini serupa daun maaf untukku
Lalu, ia luruh, gugur dan jatuh dihadapmu
Maka, dengan tulus aku meminta… Maafkanlah aku…
Reno
Wanita itu terkesiap. Jangan-jangan ini tulisan orang tolol yang dikatakan orang-orang tadi. Oramg tolol yang jatuh dari atas pohon tanpa alasan jelas itu.
Dinda? Dinda kan namanya. Sedang Reno?
Pikirannya kembali berkelebat saling berkejaran. Ambulans, orang jatuh, tulisan aneh yang ada padanya, semua mempunyai satu benang merah. Semua sejalan.
Ia melesak dibangkunya.
Tak sempat lagi walaupun ia mengejar. Ambulans itu telah pergi jauh membawa seseorang yang ingin dilupakannya. Seseorang yang beberapa hari ini terus memohon maaf padanya. Seseorang yang mau tidak mau harus diakuinya sebagai seseorang yang sangat ia cintai.
Wanita itu hanya bisa menangis.
Langit mendukung, serentak air asam langit itu mengimbangi air mata yang membasahi bumi. Langit pun ikut berduka.
******
Sang lelaki hanya bisa memandangi wanita itu dengan prihatin.
Dinda, mengapa engkau menangis? Sedang pohon-pohon itu pun tengah menyiapkan tunas baru. Tunas yang akan memberi banyak lagi daun-daun muda. Dan aku pun yakin pada saatnya nanti, akan banyak lagi daun yang lebih pantas untukmu
Ini adalah kali terakhirnya hujan-hujanan bersama.
Ia melirik Dinda yang masih menangis disisinya. Sesaat ia ingin memayungi gadis itu dengan kedua bilah tangannya. Tapi percuma. Bukankah Dinda telah terbiasa hujan-hujanan seperti ini. Bukankah ia yang selama ini memaksanya melakukan itu.
Lelaki itu tersenyum. Tugasnya telah usai dan harapannya juga telah sampai. Daun itu adalah daun maaf yang membantu menutup kehadirannya disini. Semua telah usai.
Perlahan ia memudar dan menguap begitu saja ke angkasa. Tapi, sebelum ia hilang ia masih sempat membisikkan kata-kata, menitipkannya pada tiap tetesan air yang tercurah dari langit. Pada rinai air yang membasahi tubuh wanita itu.
“Dinda, kumohon pulanglah apabila nanti bibirmu telah membiru karena kedinginan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar