HUJAN! Lagi-lagi hujan! Utia mendengus sebal di lobi mall sambil menatap jengkel buliran-buliran air yang jatuh berkejaran. Padahal menurut ramalan cuaca hari ini tidak akan turun hujan. Tapi, buktinya…. Apa mungkin ini karena efek pemanasan global yang sering ia dengar digembar-gemborkan orang, ya?
Ah, andai saja tadi dia tidak menolak ajakan Vina dan Shifa untuk pulang sama-sama pakai mobil jemputan mereka. Tapi, Utia tak ingin merepotkan mereka, karena memang rumahnya berlawanan arah dengan rumah Vina. Kini, diantara lebatnya hujan ini, dia hanya bisa mendengus kesal saja, masih menggerutu pelan.
Sedari tadi sebenarnya Utia telah mencoba memanggil para ojek payung yang mondar-mandir menawarkan jasanya. Tapi, sialnya mereka lebih dulu dipanggil orang lain yang sama sepertinya, memerlukan sebuah payung untuk sekedar menyebrang jalan atau berjalan ke halte didepan sana.
Tiba-tiba Utia melihat seseorang yang dikenalnya berjalan ditengah hujan sambil membawa payung. Seketika ia memanggil orang tersebut… “Awang!!!”
Awang menoleh mencari asal suara yang memanggilnya. Mudah sekali menemukannya karena orang yang memanggilnya kini tengah tersenyum memandangnya sambil melambai-lambai. Awang bergegas mendekati Utia yang masih melambai padanya.
“Awang, aku nebeng dong sampai halte sana.” pinta Utia saat Awang telah berada didepannya.
“Boleh…” balas Awang sambil tersenyum. “Tapi, aku ini ojek payung lho…”
“Hah…?!” Utia menatap tak percaya lelaki dihadapannya ini.
======
“Huh, akhirnya sampai halte juga…” desah Utia merasa lega. Ia akhirnya memakai jasa payung Awang. Yah, memang pada awalnya Utia juga mau memakai jasa ojek payung, jadi apa salahnya. Tapi, tadinya Utia kira Awang bercanda saat berkata bahwa dia ojek payung, ternyata tidak. Dan ia pun menerima saat Utia menyodorkan dua ribuan padanya, setelah itu pergi.
Utia kini duduk dihalte menunggu angkot yang menuju kerumahnya. Ia menunggu sambil membayangkan Awang berlarian bersama anak-anak usia SD menawarkan payungnya. Hihihi… Awang memang konyol sekali. Masa sudah SMA begitu jadi ojek payung…
Awang memang konyol dan juga sangat gampang dikerjai. Beberapa minggu yang lalupun sebenarnya Utia pernah meledek Awang dikelas. Awalnya karena ada sebuah tugas dari guru bahasa. Tugasnya menyuruh anak-anak membuat sebuah karangan yang berbau dongeng. Nah, saat tugas tersebut akan dikumpulkan ternyata ada dua judul karangan yang sama. Itu adalah karangan Awang dan juga karangannya. Judulnya sama, pelangi. Namun isinya jauh berbeda. Awang mengisi ceritanya tentang dongeng Bidadari sedang Utia bercerita tentang Laprechaun.
Anak- anak sekelas yang mengetahui hal itupun jadi membanding-bandingkan karya keduanya. Dan Utia, merasa idenya yang lebih bagus maka ia mengungkapkan argumennya pada semua anak.
“Pelangi itu sangat erat hubungannya dengan Laprechaun. Dalam dongeng Irlandia disebutkan Laprechaun menumpuk banyak hartanya diujung pelangi, itulah sebabnya pelangi bersinar kemilau, karena berupa kilau tumpukan gunung harta…”
Teman-teman sekelas pada ber-ooh ooh mendengar argumen Utia. Tapi, banyak diantara mereka yang menatap Awang, berharap ia punya alasan menarik untuk membalas Utia. Untuk mempertahankan karangannya.
Tapi, Awang tetap saja terdiam dibangkunya. Anak-anak yang berharap debat seru itupun sedikit kecewa. Sedang Utia yang tahu kalau Awang tidak bisa membalas semakin semangat mempecundanginya.
“Mungkin aku tahu alasan Awang memakai bidadari dalam karangannya…” ujar Utia sambil melirik Awang yang masih diam dibangkunya.
“Apa, apa?” tanya teman-teman semangat.
Utia terkikik sambil kembali melirik Awang. Sambil menarik nafas, ia berbicara dengan suara yang didramatisir berlebihan.
“Pasti karena Awang enggak punya pacar, makanya ia berkhayal dapat bidadari biar bisa jadi pacarnya. Kamu kebanyakan baca dongeng Jaka Tingkir, Wang…” seloroh Utia sambil tertawa kecil.
Teman-teman sekelas semuanya tertawa mendengar ejekan Utia barusan. Awang terlihat memundurkan bangkunya lalu berjalan keluar kelas. Sepertinya omongan Utia barusan melukai hatinya. Ia melangkah dalam diam, sedang semua anak masih tertawa dibelakang punggungnya saat ia berlalu.
Utia masih terkikik mengenang kejadian itu. Seketika ia sadar masih berada dihalte untuk menunggu angkot. Dengan gugup ia menengok kanan dan kiri. Bisa gawat kalo ada seseorang yang melihatnya tertawa sendiri di halte. Bisa disangka orang gila nyasar nanti…
======
Hujan tak juga kunjung reda. Malah semakin deras. Jalanan didepan halte pun tergenang air yang melimpah. Jangan-jangan banjir. Bisa gawat kalau sampai banjir, angkotnya pasti enggak bakalan lewat. Masa ia harus jalan kaki, walaupun enggak jauh sih. Tapi, kalau hujan begini…
Utia sedikit cemas melihat hujan yang tak kunjung reda itu. Ia menoleh kanan dan kiri. Dari tadi ia sendirian di halte ini. Kendaraan pun jarang sekali yang lewat, paling paling hanya kendaraan pribadi, itupun jarang.
Ia kembali memandang sekeliling. Dikejauhan kembali ia melihat Awang yang tengah menerobos hujan untuk menyewakan payungnya. Seketika Utia memanggilnya.
Awang tergopoh mendekati Utia. Bajunya basah terguyur hujan saat sampai dihalte itu. “Ada apa?”tanya dia tak mengerti.
“Awang, anterin aku pulang, yah. Aku sewa payung kamu sampai rumah…” kata Utia, sedikit memohon.
Awang mengangguk setuju, lalu menyerahkan payungnya pada Utia. Sesaat sebelum meninggalkan halte terlihat Utia hendak berbagi payung dengan Awang, tapi Awang malah tetap hujan-hujanan, bukannya berada dibawah payung.
“Ayo, Wang. Bareng-bareng aja payungannya…” seru Utia berusaha mengalah-kan bunyi derasnya hujan.
Awang menggeleng. “Enggak usah, kamu kan sudah menyewanya, jadi itu hak kamu… Aku hujan-hujanan aja.”
Utia menghela nafas, “Ya sudah…”
Mereka berjalan menerobos hujan. Utia dengan payung yang disewa dari Awang dan Awang yang mengikuti dibelakangnya yang sebentar saja telah kuyup karena hujan-hujanan. Utia merasa sedikit kasihan memandang Awang yang kelihatannya kedinginan.
“Ayo Awang, bareng aja pake payungnya…”
Awang masih menggeleng. Sedang Utia mendengus sebal. “Ya udah kalau begitu, tapi setidaknya jalan disampingku dong. Aku kan mau ngobrol sama kamu…”
Dengan sedikit senyum, Awang mejajari langkah Utia. “Nah, begitu dong…” kata Utia sambil nyengir lebar.
Mereka melangkah beriringan. Hujan memang semakin menggila, tapi untungnya tak ada petir, sehingga mereka nyaman saja berjalan ditengah hujan itu. Percikan buliran-buliran air yang jatuh ketanah terpias, terasa dingin dikaki.
“Kok kamu ngojek payung, Wang?” tanya Utia sembari berjalan.
Awang memalingkan wajahnya, melihat Utia sebentar. “Loh, memangnya kenapa? Bukannya ini kerjaan yang halal…” jawabnya enteng.
“Iya, sih…” Utia berusaha menahan tawanya, “Tapi, lucu aja ngelihat anak SMA ngojek payung bareng anak-anak seumuran SD… Enggak keren tau…”
Awang tertawa mendengar perkataan Utia.
======
Mereka tengah memasuki komplek rumah Utia saat dua orang anak kecil, perempuan dan laki-laki, berlari mendekati mereka. Mereka berlari dibawah hujan meskipun membawa sebuah payung lipat ditangan.
“Bang Awang!” teriak mereka sambil berlari mendekat.
Awang mendekati mereka. “Kenapa kalian hujan-hujanan? Kenapa payungnya enggak dipakai?”
“Enggak bisa bukanya, bang…” kata anak yang laki-laki. Disusul anggukan yang perempuan.
Awang dengan cepat membukakan payung itu untuk mereka, tapi pakaian mereka terlanjur basah. “Kenapa kalian keluar rumah, hujan-hujanan lagi?” tanya Awang sambil memandangi mereka.
“Soalnya Abang enggak pulang-pulang. Kita kan nunggu jajannya…” Anak perempuan itu berkata polos.
“Iya, iya… Abang kan udah janji beliin roti buat kita…” susul si anak satunya lagi semangat.
Awang mengeluarkan sebuah roti yang plastiknya basah terkena hujan dari kantong celananya. “Ini buat kalian, tapi kalian harus cepat pulang terus mandi. Rotinya satu, tapi gede. Nanti bagi dua yah, buat kalian…”
“Asyik!!” seru mereka berdua sambil menerima roti itu. Lalu mereka berlari pulang, berdua dibawah payung tadi. Mereka nampak seperti jamur yang sedang berjalan.
Utia yang sedari tadi melihat mereka cuma berdiam diri. Ia cuma bertanya; ‘adikmu?’, pada Awang saat ia mendekat dan hanya dibalas dengan anggukan.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Rumah Utia sudah dekat didepan sana, tapi ia kaget juga, ternyata rumah Awang ada dekat sini.
“Utia… Mungkin ojek payung memang enggak keren.” Awang tiba-tiba berkata pada Utia. “Tapi, bagiku lebih enggak keren lagi kalau membiarkan adik-adikku yang melakukannya, sedang aku cuma bisa duduk-duduk dirumah…”
Utia memandang wajah teman sekelasnya itu. Kini ia menyadari suatu hal. Awang tidak aneh. Benar, Awang bukanlah anak yang konyol. Ia tiba-tiba teringat kejadian saat ia mempermalukan Awang dikelas waktu itu. Saat ia berpapasan dengan Awang dikoridor sekolah waktu istirahat, ia membisikkan sesuatu padanya.
“Cerita bidadari itu adanya dicerita Jaka Tarub, bukan Jaka Tingkir…”
Utia terhenyak. Ia menyadari kebaikan Awang. Kalau saja waktu itu Awang berniat mempermalukannya pastilah mampu ia lakukan. Dengan mudah kalau ia mau, ia bisa saja mengejeknya yang tidak tahu bedanya cerita Jaka Tingkir dengan Jaka Tarub, tapi sudah berkomentar seenaknya. Tetapi, ternyata semua itu tidak ia lakukan.
Kini Ia hanya bisa menatap Awang dengan muka merah, malu bukan buatan.
======
Kelas ramai sekali pagi ini. Semua saling bergembira karena mereka dinyatakan lulus UAN semua. Utia juga bergembira. Selain dinyatakan lulus, ia juga menjadi peringkat dua disekolahnya. Itu adalah prestasi terbaiknya selama ini.
Diantara banyak obrolan semangat mereka, yang paling banyak dibicarakan yaitu tentang kuliah. Mereka saling berbagi informasi universitas-universitas yang mungkin bisa dimasuki nanti. Saling berjanji akan masuk fakultas yang sama, universitas yang sama.
Bagi Utia, pilihannya sudah pasti. Ia akan mengambil Fakultas Hukum di UI. Papanya sudah jauh-jauh hari menyiapkan semuanya. Termasuk tawarannya membelikan motor. Utia langsung saja mengiyakan, asal ia dibelikan skutik terbaru yang imut itu.
Siang ini haripun kembali hujan. Utia kembali terkecoh ramalan cuaca di TV tadi pagi. Ia kini hanya berdiri saja dikoridor sekolah. Memandangi kucuran air yang jatuh dari atap. Beberapa anak nampak sama sepertinya, berharap hujan segera reda.
Saat itu Awang mendekatinya. Ia membawa sebuah payung lipat yang kemarin dibawa adiknya waktu hujan. Awang tersenyum saat Utia menoleh memandangnya.
“Mau ngojek payung?” seloroh Awang sambil nyengir lebar.
Utia tersenyum memandangnya. “Masa disekolahan diobyekin juga…”
Awang tertawa. “Bercanda, bercanda… Mau diantar sampai rumah?”
Gadis itu mengangguk dan masuk dalam lindungan payung saat Awang membukanya dibawah kucuran atap. Mereka berjalan beriringan melintas halaman sekolah.
“Gara-gara hujan sepatuku jadi basah deh…” gerutu Utia tak jelas.
“Jangan begitu… Hujan itu berkah lho, apalagi buat pengojek patung seperti aku.” Awang tertawa saat menyadari lawan bicaranya manyun karena jengkel.
“Enggak lucu…” balas Utia sewot.
“Emang bener kok, hujan itu berkah. Lagian sesudahnya, kalau beruntung kita bisa lihat pelangi. Mungkin enggak yah, di Jakarta ini…?”
Saat Awang berkata pelangi, Utia teringat kesalahannya waktu ia meledek Awang dikelas. Seketika ia tersadar, inilah saatnya meminta maaf. Perlahan ia mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakannya pada Awang.
“Wang, maaf waktu dikelas kemarin. Aku sudah maluin kamu didepan anak-anak…”
Awang tertegun sejenak mendengar perkataan Utia barusan. “Ah, enggak apa-apa kok… Aku sama sekali enggak bermaksud mengungkit hal itu, tadi aku cuma...”
“Tapi, Wang…” Utia memohon agar Awang sedikit saja marah padanya. Setidaknya kalau begitu Utia tahu, Awang sudah mengeluarkan sakit hatinya waktu itu.
“Lagian kalau saat ini, aku lebih suka membayangkan ada Laprechaun menumpuk harta diujung pelangi sana. Kalau benar ada, ingin sekali aku meminta sedikit harta itu untuk kuliah. Kalau saja itu bukan dongeng, ya…” Awang tersenyum kecut saat berkata semua ini.
“Jadi, Jadi kamu enggak nerusin sekolah, Wang? Enggak kuliah?” tanya Utia berusaha meyakinkan pendengarannya. “Kamu kan juara satu sekolah kita…”
Awang menggeleng. “Mungkin itu semua hanya mimpi bagiku…”
Hati Utia mencelos mendengar perkataan Awang tersebut. Tanpa sadar ia meneteskan air mata. Tak tahu mengapa, ia sedih mendengar hal ini. Awang kan pintar, kenapa enggak bisa kuliah, sayang sekali, kan?
“Hey, kenapa menangis” tanya Awang heran. “Tenang! Aku sama sekali belum menyerah sama mimpi itu. Aku akan berusaha mencari jalan terbaik, entah itu beasiswa ataupun yang lainnya.”
Utia menghapus air matanya. “Iya, Wang. Kamu harus berusaha biar bisa kuliah”
Lelaki itu tersenyum, kini menatap jauh kedepan, menerobos buliran air yang saling memburu jatuh dan terpercik ditanah. Benar, memercik. Seperti harapan yang memercik dihatinya. Biarpun percikan itu kecil, ia tak akan mungkin menyerah. Seperti sebuah percikan hujan, walaupun kecil namun dinginnya terasa.
“Yah, kayaknya kuliah itu enak, ya…”
======
Malamnya Utia tak bisa tidur. Ia selalu memikirkan perkataan Awang tadi siang. Awang yang tidak bisa meneruskan kuliah, padahal pintar. Utia membanding-bandingkan Awang dengan dirinya. Awang memiliki adik, dia juga. Tapi yang berbeda yaitu ia tidak bisa memberi sebuah roti yang berarti bagi adiknya. Roti seperti itu mana mau adiknya makan. Ia tak pernah bisa berbagi dengan siapapun. Semuanya telah tersedia, melimpah bahkan. Sebenarnya Papanya mau membelikan sebuah mobil buat kuliah nanti, tapi pikir Utia, mobil tidaklah praktis di Jakarta yang macet seperti ini. Makanya ia hanya minta sebuah skutik saja pada papanya. Sedang sekolahpun selama ini dia hanya naik angkot. Alasannya karena rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya kisaran dua kilo saja.
Kini ia membayangkan Awang lagi. Andai saja Awang ada diposisinya, apa yang dia lakukan ya?
Mungkin ia akan berbagi! Yah, pasti ia akan berbagi!
Utia beranjak turun dari kasurnya, meninggalkan kamar. Ia telah memutuskan sesuatu. Benar, ia memutuskan untuk berbagi pada sesama, walaupun sesuatu itu bukan miliknya tapi ia akan berusaha untuk membagikan usahanya pada Awang. Karena hanya usahalah kini satu-satunya miliknya.
======
Sebuah angkot merah berhenti didepan halte. Utia dan Awang bergegas turun dari dalamnya. Hari gerimis.
“Yah, kok gerimis sih…?” keluh Utia sebal.
“Kamu ketipu ramalan cuaca lagi yah…” goda Awang sambil terkekeh.
Utia tersipu malu. Ia memperhatikan Awang yang sibuk mengeluarkan payungnya dari dalam tas.
“Jangan bilang kamu nawarin ojek payung…” tuduh Utia saat melihat gelagat Awang.
Awang tertawa. “Ha ha ha… Ketahuan yah…”
“Tapi cuma gerimis, enggak usah pake payung yuk…” Utia menggandeng tangan Awang, mulai berjalan sepanjang trotoar. “Sekali-kali gerimis-gerimisan kayaknya asik…”
“Eh, nanti sakit lho…” kata Awang mengingatkan gadis itu. Tapi sama sekali enggak didengarkan, kayaknya. Malah ia asik-asik saja jalan ditengah gerimis ini.
Tiba-tiba Utia berseru sambil menunjuk langit.
“Awang! Lihat, ada pelangi!”
Awang mengikuti tangan yang teracung tersebut. Benar, ada pelangi. Ini bukan mimpi kan? Menurut teori pelangi tidak mungkin ada di Jakarta yang langitnya kotor penuh polusi ini. Tapi, itu benar-benar nyata. Itu benar-benar pelangi.
“Wah…” Awang terpana menatap keindahan warna yang melengkung itu. Benar-benar keajaiban Tuhan yang sangat luar biasa.
“Tapi sayang yah, ternyata bukan bidadari yang ada diujung pelangi itu. Tapi Laprechaun yang sedang menumpuk hartanya.” cibir Utia menggoda Awang.
“Iya, yah…” gumam lelaki itu. “Dan sayangnya, sekarang aku jalan sama anak Laprechaun…”
“Loh, siapa yang anak Laprechaun?!” sergah Utia gusar sedang Awang yang menatapnya tertawa berderai.
“Kan papa kamu yang kasih aku biaya buat kuliah. Dia itu seperti Laprechaun yang bagi-bagi hartanya buat aku…”
“Tapi papa bukan Laprechaun, dan aku juga bukan anak Laprechaun!!” sangkal Utia marah. Ia kesal juga. Seharusnya ia yang kini ada diatas angin. Tadi, dia ingin mengatakan, ‘sayang sekali diujung pelangi itu enggak ada bidadari, jadi kamu enggak bakalan punya pacar seumur hidup’. Tapi sekarang malah dia yang jadi ejekan Awang. Uh, sebal!! Semuanya terbalik, padahal kan ia yang ingin meledek Awang.
Awang menggenggam tangan Utia. Ia menatap wajah gadis itu yang masih manyun karena jengkel.
“Utia…” lirih Awang sambil menatap lekat gadis itu. “Memang diujung pelangi itu enggak ada bidadari. Tapi, disini ada seorang bidadari baik hati yang telah menolongku hingga aku bisa meraih mimpiku. Aku bisa kuliah.”
Utia terperangah dengan perkataan Awang tersebut. Ia tak menyangka bahwa usaha kecilnya membujuk Papa untuk membiayai kuliah Awang menjadi hal yang sangat berarti. Utia mengerti, berbagi bukanlah dinilai dari seberapa besar, tapi seberapa ikhlas. Dan ia ikhlas melakukannya untuk Awang. Wajah gadis itu bersemu merah. Rupanya pelangi telah membagi satu warna terindahnya untuk gadis itu. Membuatnya semakin cantik karena rona lembut diwajahnya. Rona sebuah rasa yang menyembul hadir dihari itu. Mengungkap sebuah kata., yaitu cinta.
“Utia…” bisik Awang lembut.
“Terima kasih…”
======
Tidak ada komentar:
Posting Komentar