Lembaran amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Dibuka bilah demi bilah, lembar demi lembar.
Tulisan diatasnya itu tak lantas memuluskan usahanya.
“Yth Bapak, Ibu dan Saudaraku sekalian. Kami yatim piatu yang mengharap belas kasihan Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian. Mohon bantuan seikhlasnya…”
Tulisan yang sama sekali tak ia mengerti. Itu hanya amplop yang diserahkan padanya dari seseorang.
Amplop itu masih jadi pengharapannya. Dibukanya bilah demi bilah, lembar demi lembar.
Kosong.
Kalaupun amplop tak ditekuk atau diremas saja itu sudah untung.
Suara kamipun tak semerdu penyanyi-penyanyi di radio itu. Duhai, indah nian mereka, dianugrahi pita suara terbaik, nasib terbaik dan….
Amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Tulisan diatasnya sama sekali tak meluluskan niatnya.
Ya Allah,
Bukan kami merajuk, kamipun tak menyalahkan mereka. Maafkan kami, sungguh. Aku bersungguh-sungguh, ya Allah…
Amplop itu masih satu-satunya pengharapan.
Ketika perlahan dengan tangan gemetar, satu-satunya amplop tebal yang ia terima.
Ia menelan ludah. Gemetar. Perlahan ia merogoh apa yang ada didalamnya. Sebuah kertas, tercorat-coret membentuk kata… tapi, ia tak tahu maknanya….
Yah, ia sama sekali tak tahu apa itu. Yang ia tahu selembar uang sepuluh ribuan yang ikut bersama dalam lipatan kertas itu. Itulah jawaban dari pengharapannya.
Siang ini aka nada sepotong es lilin untuknya.
Sesampainya dirumah, I sampaian kertas itu pada sang kakak. Kakak adalah pengurus rumah singgah ini, penulis kalimat diatas amplop kami.
Kakak membacakannya, dengan sedikit sendu…
“Dik, janganlah urung bermimpi. Langit cukup luas untuk menampung sejuta mimpimu… Siapapun dirimu…”
Ia, ia luruh dengan masih menggenggam sisa uang itu. Sembilan ribu lima ratus rupiah lekat dalam genggamnya.
Ia telah memutuskan, ia ingin bercita-cita… Ia ingin bermimpi, sampai langit tak mampu menampung semuanya… Ia telah berjanji…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar